Budaya Akademik dan Etos Kerja Dalam Islam
1. BUDAYA AKADEMIK
a. Pengertian Budaya Akademik.
Budaya akademik (Academic culture),
Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan
kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat
akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang,
bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman.
Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya,
dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik.
Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya
sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan
akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua
insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik
tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat
guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu
mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Khusus bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan
prestasi akademik tersebut ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk
berburu referensi actual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb.
Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya
mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam
perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan
di perguruaan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik,
mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias
saja ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan
forum namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan
pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia
tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu—baik disadari
ataupun tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi
berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut.
Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang
mendasari kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping
dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.
b. Pembahasan Tentang Budaya
Akademik
Dari
berbagai Forum terbuka tentang pembahasan Budaya Akademik yang berkembang d
Indonesia, menegaskan tentang berbagai macam pendapat di antaranya :
1) Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan
Budaya Akademik
Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan
pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar
(167/76,2%) responden adalah
“Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya:
“Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya:
(1) penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;
(2) pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
(3) kebiasaan membaca;
(4) penambahan ilmu dan wawasan;
(5) kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;
(6) penulisan artikel, makalah, buku;
(7) diskusi ilmiah;
(8) proses belajar-mengajar, dan
(9) manajemen perguruan tinggi yang baik
2) Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas responden (163/74,4%) mengenai Tradisi
Akademik adalah,
“Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik”
“Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik”
Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru
dan murid, antara pandito dan cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar
sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti
padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain seperti
menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi
berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak
terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah
laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan
menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan
pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam
paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.
3) Kebebasan Akademik
Kebebasan Akademik adalahKebebasan yang dimiliki oleh
pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk
bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan
pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan
akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan,
menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni,
dalam kerangka akademis.
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi
intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan kebijakan politik
acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan
yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam
kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya
akademik dan berkaitan dengan kebebasan
Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik
yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang
panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan
akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan
akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari
Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan
Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,”
sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan
kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan
dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan
keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik,
khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat
dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung
dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh
para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang
menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
(1) penerbitan buku tertentu;
(2) pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
(3) pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang
(1) penerbitan buku tertentu;
(2) pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
(3) pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang
bertentangan dengan ideologi dan
kebijakan pemerintah atau negara.
C. Otonomi Keilmuan
Dalam PP No. 30 Th. 1990 terdapat konsep mengenai “Otonomi
Keilmuan” yang disebut “merupakan pedoman bagi perguruan tinggi dan sivitas
akademika dalam penguasaan dan pengembangan IPTEK dan seni.” PP tersebut tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai “Otonomi Keilmuan” tetapi
memberikan arahan yang penjabarannya tampaknya diserahkan kepada PT
masing-masing, antara lain:
1)
Pelaksanaan kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan berpedoman pada norma dan
kaidah keilmuan, diarahkan untuk memantapkan terwujudnya penguasaan,
pengembangan IPTEK dan seni.
2)
Senat perguruan tinggi berkewajiban
merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik,
dan perwujudan otonomi keilmuan dalam kerangka pemantapan terwujudnya
penguasaan, pengembangan IPTEK, seni, dan pembangunan nasional. Empat pilihan
jawaban yang diajukan dalam butir kuesioner tentang “Otonomi Keilmuan” tidak
secara eksplisit memungut dari PP No. 30/Th. 1990, melainkan lebih dari hasil
survei pendahuluan yang dilaksanakan sebelumnya pada tingkat lokal yang
berbunyi sebagai berikut:
· Kewenangan bagi perguruan tinggi untuk merumuskan
pelaksanaan pengembangan kegiatan-kegiatan akademik di kampus masing-masing.
· Otonomi lembaga-lembaga keilmuan (perguruan tinggi) untuk
menggali, menemukan dan mengembangkan IPTEKS.
· Otonomi pengembangan keilmuan yang dimiliki dosen dan
mahasiswa sesuai kaidah-kaidah dan norma-norma keilmuan
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya
hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang
pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah,
mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan
Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de
porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar
yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar
saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi study, akan
tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan
dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan
hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi
learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di
bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan
menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir
semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan
inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial
serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran
mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan
hingga kini masa reformasi. mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi
buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan
telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor
restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang
diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah
rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi
bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini
tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat
dikategorikan sebagai Agent of social change ( Istilah
August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa.
Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama
antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa
yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa,
bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat
ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka
adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan
ke rumah.
Inikah mahasiswa ? Padahal, mahasiswa adalah sosok
yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi, respect dan tanggap
terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus
menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran,
aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan
menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah
hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang
tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus
bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling
tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan
civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif
di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM )
ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang
mengarah pada pembangunan bangsa.
2. ETOS KERJA DALAM ISLAM
a. Pengertian
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat
. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
- suatu aturan umum atau cara hidup
- suatu tatanan aturan perilaku.
- Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan
tingkah laku .
Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat
yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam
rangka mencapai cita-cita yang positif.
Akhlak atau etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya.
Akhlak atau etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya.
Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.
Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance) .
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.
b. Konsep Kerja dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang
dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan
seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi
perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan
serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau
tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang diakhirat kelak, apakah masuk
golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga
dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau
pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan
masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan enaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang
yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi
sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah)
itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan sikap malunya pada-Nya serta menunaikan
tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al
Mu’minun : 1 – 11)
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang
sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di
ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan
di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri
manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada
golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata,
telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah
yang banyak dan seumpamanya. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar
r.a., berbunyi :
’Bahwa setiap amal itu bergantung
pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …
’ Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
‘ Binasalah orang-orang Islam kecuali
mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang
beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu
mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga
masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …
’
Kedua hadist diatas sudah cukup
menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya
dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari
ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu,
yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah). itulah yang dicari dalam semua
urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam
kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah
golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha
dengan kehidupan yang ditempuh, serta optimis dengan janji-janji Allah.
c. Meneladani Etos Kerja Rasulullah
SAW
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan
dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau
bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT. Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa
dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad
melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa
tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad,
“Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk
mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau
mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak
akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang
berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan
sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah,
andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah,
maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja
untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah;
kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu
adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri
agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal
saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan
manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan
manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak
berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan
Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari
aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau,
sampaisampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini “rela” mencium tangan
Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua
kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan
mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum
beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan
tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia.
Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang
paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW
sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam
hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1) Sebagai rasul. Peran ini
beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus
berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan
tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat;
dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai
pembunuhan sampai perceraian.
2) Sebagai kepala negara dan
pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah
SAW harus menerima kunjungan diplomatik “negara-negara sahabat”. Rasul pun
harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin,
Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3) Sebagai panglima perang. Selama
hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy.
Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan
kaveleri bersenjata.Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik,
keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya. sebagai kepala rumahtangga.
Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung
jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang
cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya.
Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri
bajunya.
4) Sebagai seorang pebisnis. Sejak
usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis
ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17
hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul
karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship
Rasulullah SAW terbukti dengan “terpikatnya” konglomerat Mekah, Khadijah
binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam
bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa
Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti
Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika
mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan
kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak
heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan
beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling
bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
d. Rahasia kesuksesan karier dan
pekerjaan Rasulullah SAW
1)
Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu
bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya”.
2) Dalam bekerja Rasul melakukannya
dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya
penetapan skala prioritas.
3) Rasul tidak pernah
menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. “Barangsiapa yang dibukakan pintu
kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan
ditutupkan kepadanya,” demikian beliau bersabda.
4) Dalam bekerja Rasul selalu
memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala
aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5) Rasul tidak pernah
menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6) Rasul bekerja secara
berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada
cita-cita bersama.
7) Rasul adalah pribadi yang
sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai
tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan
kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk
kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci
terpenting.
e. Fungsi dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi
sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A.
Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
- Pendorang timbulnya perbuatan.
- Penggairah dalam aktivitas.
- Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya
motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan .
Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut
kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang
dilakukan . Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup
semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non
materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun
akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang
persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang
atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang
disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.
Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup
manusia yang kebahagiaan hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di
akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia,
sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading
yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum
mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk
sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf
mengatakan:
Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus
mempunyai bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia
berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta,
kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya
keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan
justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan
kehidupan akhirat.
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash: 77)
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash: 77)
Pandangan Islam mengenai etos kerja, di mulai dari usaha
mengangkap sedalam-dalamnya sabda nabi yang mengatakan bahwa niali setiap
bentuk kerja itu tergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika
tujuannya tinggi (mencari keridhaan Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai
kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti misalnya hanya bertujuan
memperoleh simpati sesama manusia belaka) maka setingkat pula nilai kerjanya .
f. Etos kerja Islami
Dalam
kehidupan pada saat sekarang, setiap manusia dituntut untuk bekerja guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja seseorang akan
menghasilkan uang, dengan uang tersebut seseorang dapat membelanjakan segala
kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya ia dapat bertahan hidup. Akan tetapi
dengan bekerja saja tidak cukup, perlu adanya peningkatan, motivasi dan niat.
Setiap pekerja, terutama yang beragama islam, harus dapat
menumbuhkan etos kerja secara Islami, karena pekerjaan yang ditekuni bernilai
ibadah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya juga dapat digunakan untuk
kepentingan ibadah, termasuk didalamnya menghidupi ekonomi keluarga. Oleh
karena itu seleksi memililih pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami
menjadi suatu keharusan bagi semua pekerjaan. Adapun etos kerja yang islami
tersebut adalah: niat ikhlas karena Allah semata, kerja keras dan memiliki
cita-cita yang tinggi. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u “ulumuddin”
yang dikutip Ali Sumanto Al-Khindi dalam bukunya Bekerja Sebagai Ibadah,
menjelaskan pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa,
yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak
membutuhkan pemikiran. Dengan demikian etos kerja Islami adalah akhlak dalam
bekerja sesuai dengan nilai-nilai islam sehingga dalam melaksanakannya tidak
perlu lagi dipikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini sebagai sesuatu yang
baik dan benar.
Menurut Dr. Musa Asy’arie etos kerja islami adalah rajutan
nilai-nilai khalifah dan abd yang membentuk kepribadian muslim dalam bekerja.
Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan kreatif, produktif, inovatif, berdasarkan
pengetahuan konseptual, sedangkan nilai-nilai ‘abd bermatan moral, taat dan
patuh pada hukum agama dan masyarakat
Toto Tasmara mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya dengan niat semata-mata bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah, sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah. Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
Toto Tasmara mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya dengan niat semata-mata bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah, sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah. Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
- Orientasi kemasa depan. Artinya
semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan
masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan
sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia
selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
- Kerja keras dan teliti serta
menghargai waktu. Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga,
dan waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar
setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk
meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi
sosial, firman Allah:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
Artinya:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)
- Bertanggung jawab.
Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan melemparkan kesalahan di bawah. Allah berfirman:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ
لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ
مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا.
Artinya:
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(Q.S. Al-Isra’: 7)
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(Q.S. Al-Isra’: 7)
- Hemat dan sederhana. Seseorang
yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang pelari marathon
lintas alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara hidupnya
yang sangat efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya. Dia
menjauhkan sikap boros, karena boros adalah sikapnya setan.
- Adanya iklim kompetisi atau
bersaing secara jujur dan sehat.
Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 148)
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 148)
Sebagai orang yang ingin menjadi winner dalam setiap
pertandingan exercise atau latihan untuk menjaga seluruh kondisinya, menghitung
asset atau kemampuan diri karena dia lebih baik mengetahui dan mengakui
kelemahan sebagai persiapan untuk bangkit. Dari pada ia bertarung tanpa
mengetahui potensi diri. Karena hal itu sama dengan orang yang bertindak nekat.
Terukir sebuah motto dalam dirinya: “The best fortune that can come to a
man, is that he corrects his defects and makes up his failings”
(Keberuntungan yang baik akan datang kepada seseorang ketka dia dapat
mengoreksi kekurangannya dan bangkit dari kegagalannya) Percayalah .
KESIMPULAN
1. BUDAYA AKADEMIK
Tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang
akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias saja ia mampu
berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun
tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah
terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak
segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu—baik disadari ataupun
tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi
berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan
tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari
kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping dirinya
sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya
hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang
pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah,
mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan
Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de
porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar
yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Banyak Sekali pembahasan yang
mengarah dalam Budaya Akademik di antaranya
a.
Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
b.
Tradisi Akademik
c.
Kebebasan Akademik
d.
Otonomi Keilmuan
2. ETOS KERJA DALAM ISLAM
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat
. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
- suatu aturan umum atau cara hidup
- suatu tatanan aturan perilaku.
- Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan
tingkah laku .
Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat
yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam
rangka mencapai cita-cita yang positif. Secara umum, etos kerja berfungsi
sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A.
Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
- Pendorang timbulnya perbuatan.
- Penggairah dalam aktivitas.
- Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya
motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan .
Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut
kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang
dilakukan . Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup
semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non
materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun
akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan
mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau
kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai
semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.
Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup
manusia yang kebahagiaan hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di
akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia,
sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading
yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum
mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk
sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf
mengatakan:
Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai
bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia
berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta,
kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya
keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan
justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan
kehidupan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar